Kisah Next Generation 1 - Chapter 3
Disclamer: J. K. Rowling
KISAH NEXT GENERATION 1: CIUMAN YANG SALAH
Chapter 3
Tanggal: Senin, 1 September 2017
Lokasi: Hogwarts Express
Waktu: 2 – 2.30 pm
Dear Diary,
Setelah ciuman yang luar biasa dengannya, akhirnya aku mengerti, aku memang
menyukainya.
Aku menyukai Teddy Lupin
Hore! Nyalakan kembang api! Bunyikan petasan! Nyanyikan lagu gembira, dia
akan datang dengan gendang dan kecapi.
Bukan saat yang tepat untuk merayakannya karena perasaan ini tidak benar.
Aku punya pacar, aku tidak mungkin mengkhianati Daniel. Dia sudah begitu baik
padaku, membantu, membimbing dan melindungiku selama setahun ini. Dia juga
adalah teman yang baik dan ciumannya begitu lembut. Dia menyayangiku, aku
menyayanginya, kami saling menyayangi. Namun, saat ini aku duduk memandang
keluar jendela, menatap sawah yang hijau dan gunung yang biru, tapi tidak
benar-benar memandang pemandangan indah itu karena yang terbayang di mataku
adalah sebuah kepala bermata biru dan berambut hijau toska.
Kalau memikirkan hari-hari yang telah berlalu, siapa yang akan menduganya,
karena kami sudah saling mengenal sejak kecil―sudah tahu kejelekan dan kebaikan
masing-masing. Aku sudah menganggpnya sebagai kakakku dan dia juga tentu
menganggapku sebagai adik. Tetapi bagaimana sekarang? Aku menyukainya. Aku
tidak bisa lagi memandang matanya secara langsung, aku tidak bisa lagi
berbicara wajar di depannya? Jujur saja, aku bukan orang yang bisa
menyembunyikan perasaan.
Aku memandang Daniel yang sedang tidur di depanku. Bagaimana dengannya? Aku
tidak mungkin memutuskannya tanpa alasan yang jelas. Daniel mungkin akan sakit
hati, dan aku bukan tipe orang yang akan membuat orang lain sakit hati. Daniel
adalah pacar yang sempurna untukku, lagi pula belum tentu Teddy menyukaiku. Dia
sudah dengan jelas mengatakan aku cewek
yang menyedihkan. Mungkin juga, dia sudah punya pacar; calon Auror di tempat pelatihan Auror,
mungkin.
Ya, Diary, aku memang harus melupakan perasaan khususku ini. Masih banyak
hal penting lain yang harus kupikirkan.
“Victoire!” pintu menjeblak terbuka dan Molly muncul di depan pintu kompartemen.
“Kau harus melihat ini!”
Dia menarikku keluar, berjalan menyusuri koridor menuju gerbong bagian belakang
kereta dan berhenti di depan pintu sebuah kompartemen, yang dari dalamnya
terdengar bunyi gedebuk. Aku membuka pintu kompartemen dan melihat Rose sedang
bergumul dengan seorang anak laki-laki berkulit pucat, berdagu runcing dan
berambut pirang-putih. Kedua saling memukul dan meninju, tentu saja, Rose yang
tingginya melebihi anak laki-laki itu mendapat banyak akses ke tubuh dan
wajahnya. Di dekat mereka tampak Al dan seorang anak laki-laki gemuk yang
menonton. Al tampak senang, sedangkan anak laki-laki gemuk itu tampak pucat.
Untuk sesaat aku tidak berbuat apa-apa. Memandang Rose memberikan pukulan
bertubi-tubi ke tubuh anak pucat itu membuatku ingin tertawa. Ada apa denganku?
Apakah aku bukan lagi cewek bertanggungjawab yang tidak menyukai kekerasan,
ketidakadilan dan sebagainya, dan sebagainya?
“Lakukan sesuatu, cepat!” suara cemas Molly menyadarkanku.
Apakah Molly tidak bisa melakukan sesuatu tanpa aku? Tapi―
“ROSE GINEVRA WEASLEY!” raungku, seperti yang dilakukan Grandma Weasley.
Tampaknya Rose dan si anak pucat tidak mendengarkanku, keduanya tetap
bergumul dan berguling, saling memukul.
“Oke, bantu aku!” kataku pada Molly.
Kami berdua segera maju. Aku menarik Rose dan menahannya, sementara Molly
membantu anak laki-laki pucat itu untuk berdiri. Wajah anak itu berdarah,
sedangkan Rose tampak baik-baik saja, meskipun berselimutkan debu.
Sekali lagi, aku harus menahan diri untuk tidak terkikik melihat Rose dan
anak laki-laki ini. Keduanya tampak lucu, saling mendelik dan―
“Sekarang, bisakah kalian menjelaskan padaku, apa yang kalian lakukan?”
tanyaku tegar, menekan lencana Ketua Murid di dadaku.
“Dia mengataiku,” kata Rose, mendelik pada si anak pucat.
Si anak pucat memandang rambut merahku dan kemudian memandang rambut Rose.
“Oh ya, saudara rupanya,” katanya, mencibir.
“Jadi kenapa kalau dia sepupuku?” tanya Rose, masih mendelik.
“Wajar saja, Weasley kan punya banyak anak, lebih dari yang bisa mereka tanggung,” kata anak itu menyeringai jahat.
Olala! Jadi anak ini menghina keluarga kami, pantas saja! Rose sekarang
kelihatannya siap membunuh. Dia merontak dalam peganganku.
“Beraninya kau menghina keluargaku, Malfoy! Dasar Brengsek! Lepaskan aku,
Victoire, aku harus membunuhnya... Aku
harus membunuhnya!”
Malfoy? Oh ya, aku mengerti sekarang. Tentu saja, ini anak Draco Malfoy, yang
terkenal. Orang yang sering dibicarakan Uncle Ron saat makan malam.
Malfoy memberikan pandangan menantang pada Rose, menyeka darah dari
wajahnya, mengibaskan debu dari celana jeansnya dan duduk, seolah tidak ada
yang terjadi. Si anak gemuk segera bergabung dengannya. Rose masih mencoba
untuk melepaskan diri dari cengkramanku, sedangkan Al, kelihatannya sedang
menyembunyikan tawanya.
“Al, ikut aku,” kataku, menarik Rose bersamaku keluar kompartemen, Al dan
Molly mengekor di belakang kami.
Kami terus berjalan menyusuri koridor, dan Molly diam-diam masuk ke
kompartemennya sendiri. Dia tidak ingin menyurus anak-anak ini, aku yakin itu.
Saat kami tiba di kompartemen Ketua Murid, Daniel sudah bangun. Dia
terkejut melihatku bersama Rose dan Al.
“Apa yang terjadi?” dia bertanya.
“Rose telah memamerkan kehebatannya di depan Malfoy,” jawabku.
Daniel mengangkat alisnya.
“Rose meninju Malfoy,” kataku.
“Tapi anak kelas satu seharusnya tidak boleh melakukan hal itu?” Daniel
tampak benar-benar shock.
“Mereka sudah melakukannya,” kataku.
“Aku harus melaporkan mereka ke Kepala Sekolah,” kata Daniel, lalu bangkit,
dengan wajah penuh tekad.
“Tidak,” kataku segera.
Daniel memandangku.
“Dengar! Daripada kau menghabiskan waktu dengan menyurati
McGonagall, bagaimana kalau kita membereskannya sendiri. Kita bisa mendetensi
mereka di sini dan meminta mereka untuk tidak mengulanginya, atau kita bisa―”
“Tidak, menurutku peristiwa ini memang harus dilaporkan,” kata Daniel,
segera bergerak ke pintu.
Aku melepaskan tanganku yang masih memegang Rose, berjalan cepat menuju
pintu dan menghalangi Daniel.
“Daniel, kumohon, bisakah peristiwa ini tidak dilaporkan? Rose sepupuku,
dia baru sebelas tahun, dia belum tahu tentang peraturan-peraturan Hogwarts dan―”
“Hukum tak peduli keluarga,” kata Daniel, mendorongku ke samping lalu
keluar.
Aku
berdiri memandang pemandangan sawah di luar jendela dan mendengarkan pintu
kompartemen di tutup. Apa yang terjadi dengan pacarku yang sempurna, yang
selalu mengabulkan apa pun keinginanku? Mengapa permintaanku yang penting kali
ini tidak dihiraukannya? Padahal aku meminta ini untuk keluargaku. Diary, aku
memang harus mempertimbangkan Daniel. Kalau memang dia peduli padaku,
mencintaiku, dia juga harus peduli pada keluargaku. Tapi, Daniel sama sekali
tidak peduli, Rose akan ada dalam masalah, dan aku juga, Dad akan bertanya
mengapa aku tidak bisa menjaga anak-anak.
“Maafkan aku,” terdengar suara halus Rose.
Aku tersentak, melihatnya dan Al masih berdiri di dalam kompartemen. Mereka
tampak merasa bersalah.
“Tidak apa-apa, duduklah,” kataku, menunjuk bangku di depanku.
Mereka duduk.
“Nah, sekarang ceritakan apa yang sebenarnya terjadi?”
“Awalnya aku hanya ingin berkenalan dengannya... aku memang sudah
mengenalnya, tapi karena kami satu kompartemen, sama-sama anak baru dan
sebagainya, jadi―yeah aku hanya ingin menyapanya. Dia membalasku
dengan tajam dan dengan umpatan, dan menghina keluarga kita―jadi, aku―”
cerita Rose.
“Kau meninjunya,” sambungku.
“Yeah, dia meninjunya,” kata Al, “membuat mereka terguling di lantai kompartemen
dan saling bergumul.”
Dia kelihatan tidak menyesal Rose berguling di lantai bersama Malfoy.
“Kau membiarkannya?” tanyaku tajam, memandang Al.
“Kau tahu Rose, Victoire... sebentar malah aku yang dipukul,” kata Al,
mengangkat bahu.
“Aku tidak mungkin memukulmu, Al,” kata Rose.
“Yeah, siapa tahu, kan,” kata Al, nyengir.
“Kalian sudah makan?” tanyaku.
“Belum, aku keasyikan memandang Rose dan Malfoy bertengkar dan lupa makan,”
kata Al.
“Malfoy membuat selera makanku hilang,” kata Rose.
“Kalian tunggu di sini, aku akan membeli makanan,” kataku, lalu keluar.
Sincerely
Victoire Weasley
Ketua Murid yang semakin galau
0 komentar: